Selasa, 29 September 2009

Tentang Sebuah Komitmen


Beberapa hari belakangan terjadi beberapa peristiwa yang cukup meng-influence saya untuk sejenak kemudian berniat menulis, sedikit pencerahan yang mungkin saya dapat. Saya kemudian bertanya sejauh mana komitment itu bisa dijaga paling tidak bukan sebagai ungkapan universal yang hanya bisa dipakai dalam hubungan suami-istri, walaupun mungkin kaca mata saya ataupun orang sekeliling saya akan langsung merujuk dan kemudian mengkotakkannya. Beberapa kejadian mempunyai benang merah tentang ukuran sejauh mana bertanggung jawab. Dalam kacamata saya komitmen adalah tanggung jawab.

Dan secara sadar kemudian komitment itu dilanggar, dengan beberapa alasan yang saya kira hanya untuk menghindar dan membenarkan diri akan sebuah pengingkaran. Memuaskan kedagingan. Ketika beberapa teman kantor harus mangkir atau mbolos padahal jatah liburan sudah selesai, dengan alasan bus atau kereta penuh, atau ketika teman lain harus membongkar kelemahan istri/suami pada beberapa teman, dengan alasan kecewa, atau ketika saya berjanji dengan seorang teman untuk bertemu, yang tersisa hanya janji. Alasan memang sifatnya manusiawi dimana setiap kali kita mulai mengingkari hal-hal yang secara sadar kita tahu itu salah, kemudian membuat alasan yang hanya untuk membenarkan sebuah tindakan yang jelas-jelas kita tahu bahwa itu sebuah kekeliruan.

Saya pun sering kali berjalan jauh tanpa bimbingan tanggung jawab, dan secara sadar kemudian membenarkan tindakan tersebut. Terus terang membuat saya frustrasi sendiri, memang "tekanan" sering kali membuat kita tampil tanpa topeng. Berbicara mengenai tekanan, tentu saja tekanan dengan intensitas yang berlebihan yang membuat kita sering kali keluar jauh tanpa bimbingan tanggung jawab. Garis putih batasan akan sebuah komitment pun dilewati berulang kali. Saya kemudian berpikir bagaimana dia bisa berjalan lurus dalam sebuah komitment jika saya terus mengingkari diri sendiri. Ketika berulang kali saya melanggar komitment saya juga berulang kali menipu diri saya sendiri, setiap pemikiran karena tekanan yang berlebihan baik kesedihan, kegembiraan, kesuksesan bahkan kegagalan sekalipun tidak selalu berakhir sempurna. Hilang sebuah kesadaran dan pengontrolan diri, tatanan rapi dirusak oleh "tekanan" yang berlebihan.

Beberapa ulasan dari blogger lain tentang defenisi komitment cukup menarik sebagai alasan untuk bisa dicerna : Komitmen adalah sesuatu yang membuat seorang istri tidak membongkar kelemahan suaminya pada orang lain. Sebaliknya, menutupi rapat-rapat setiap kekurangan itu dan dengan bangga bertutur bahwa sang suami adalah anugerah terindah yang pernah hadir dalam hidupnya. Komitmen adalah sesuatu yang membuat seorang istri terus mendampingi suaminya tanpa mengeluh atau mengomel. Sebaliknya, dengan setia tetap mendukung dan menyemangati meski sang suami pulang ke rumah dengan tangan kosong, tanpa sepeser uang pun. Komitmen adalah sesuatu yang membuat seorang pekerja menyelesaikan tanggung jawabnya dengan baik, sekalipun tugas itu amat berat dan upah yang diperoleh tidak sepadan. Komitmen adalah sesuatu yang membuat seseorang memikul resiko dan konsekuensi dari keputusannya tanpa mengeluh, dan menjalaninya dengan penuh rasa syukur sebagai bagian dari kehidupan yang terus berproses.

Ketika kembali pada posisi nol hal terpenting yang harus dimiliki adalah pengampunan. Pengampunan bukan sebuah kelemahan. Saya bisa memaafkan diri saya sendiri ataupun orang lain, dan berdasarkan itu saya kemudian bangkit , berdiri tegak, dan mengerti bahwa saya tengah berproses. Tidak bisa dipungkiri setiap pelanggaran akan sebuah komitment adalah bekas yang ditinggalkan dan akibatnya. Tetapi karena itu sebuah proses saya pun harus menerimanya sebagi suatu konsekuensi. Proses itu kemudian membentuk kematangan dan kedewasaan. Mengakui secara sadar bahwa saya telah melewati garis putih, dan pengampunan sanggup mengembalikan saya ke posisi semula.

Semoga semesta berbahagia


Senin, 07 September 2009

Copa Florette in My Review

Sebuah hajatan besar telah berakhir ditandai dengan sebuah noda hitam, yang mungkin tidak akan mudah menghilangkannya, akan sulit nantinya mencari deterjen yang sanggup menggilas noda hitam ini. Klimaks kegetiran, akan cermin dari budaya-kemasyarakatan yang merebak? Walahuallam.

Copa Florete 2009. Hajatan besar yang dibuat oleh perantau se-Jabodetabek asal Pulau Flores dan sekitarnya. Dibuka dengan upacara yang gegap-gempita, tepatnya 25 Juli 2009 di GOR Pemuda Rawamangun, Jakarta Timur, memupuk sportifitas, dengan jargon Sprotifitas YES Narkoba NO. Ketika awal mula saya mendengar hajatan ini, saya sangat apresiatif dengan pendahulu-pendahulu saya yang cukup jelas melihat celah, menyatukan semua dalam kekerabatan dengan misi yang jelas. Saya memang tidak pernah hadir dalam setiap pertandingannya, tetapi dengan setia tetap memantau perkembangannya. Ketika beberapa kali mendengar kericuhan kecil terjadi dalam beberapa pertandingan, saya berpikir itu agak biasa dalam sepak bola. Apalagi yang dipilih mewakili daerahnya adalah yang bukan atlit tentunya, mungkin saja tidak terbiasa dengan sedikit kekacauan yang disebabkan oleh olahraga ini, ditekel, ditanduk,dihadang sehingga adanya keributan kecil masih saya lihat sebagai hal yang biasa. Untungnya adik sepupu yang rajin menyaksikan pertandingan baik setiap Sabtu sore ataupun Minggu sore, sehingga dapat meng-up-date hasil pertandingan, begitupun ketika Ende kalah di babak penyisihan, saya tetap semangat menanti dengan was-was hasil akhir siapakah yang masuk ke babak final? Ketika akhirnya Sikka berhasil mengalahkan Nagakeo (pendatang baru yang mampu menunjukkan taringnya), serta Ngada (juara bertahan) yang berhasil mengungguli Alor dibabak semi final.

Terjawab sudah kekuatiran saya, bahwa di partai final, 5 September 2009, akan saling berhadapan musuh bebuyutan (sejak jaman saya masih kuliah di Surabaya yang akan selalu bertemu di partai final adalah kesebelasan Ngada vs Sikka). Cukup mengkuatirkan apakah pertandingan akan berlangsung dengan baik, mulus, tanpa keributan? Mengingat Copa Florette sebelumnya ada isiden memalukan dalam laga final. Sayapun memberanikan untuk turut menyaksikan kemeriahan ini, dengan usaha dan bujuk rayu agar Mon pun mau menemani saya untuk menyaksikan partai final, bentuk dari keberhasilan perantau Flores, sebagai salah satu perantau Flores saya patut bangga, diselipkan sebuah tanya apakah Maluku atau propinsi/daerah lain punya hajatan seperti ini nah lho? ^_^

Semangat penuh, saya dan Mon berangkat ke GOR Pemuda, dengan angan-angan dapat duduk manis menyaksikan sebuah pertandingan bagus, sambil bisa celingak-celinguk mungkin ada yang dikenal, karena di hajatan seperti inilah kita dapat bertemu dengan sesama perantau yang mungkin jarang bisa kita jumpai. Awal yang mulus, pertandingan perebutan tempat ketiga antara Alor vs Nagakeo, laga yang tidak boleh dipandang sebelah mata, cukup menghibur, tetapi apa lacur karena kecelakaan kecil, kemudian mengakibatkan adu jontos tak bisa dihindari, dan lebih memalukan adalah para penonton pun tidak ketinggalan meramaikan adu jontos ini. Tidak tahu dari pihak mana yang memulai, saya dan Mon dan ratusan atau bahkan ribuan pasang mata yang merupakan penonton yang manis harus disuguhi pertunjukkan ekstra. Pertanyaan saya lagi berapa ratus pasang mata yang merupakan anak-anak kecil yang harus menyaksikan , bapak, kakak, om-nya berkelahi di lapangan sepak bola? Terlintas di pikiran mereka oooh lapangan sepak bola juga bisa jadi lapangan tinju ^_^. Pertandingan ini dapat juga berakhir dengan kemenangan Alor. Sebelum partai utama, Sikka vs Ngada, ada sebuah pertandingan yang dipertotonkan oleh senior-senior (pertandingan perut lawan perut ^_^...), bisa damai, dengan kualitas yang bagus ditambahi lagi pertandingan yang sangat sportif, tidak ada suguhan ekstra (harusnya seperti ini, damai, tenang, semua menikmati bagaimana bola bergerak).

Partai utama, akhirnya dimulai juga pada Pkl 20:15 WIB, diawali dengan tendangan pertama oleh Deputi Olahraga (mewakili Menteri Olahraga, Bapak Adyaksa Dault, yang tidak sempat hadir). Walau dengan perut yang agak keroncongan, hanya ditemani dengan beberapa snack dan air minum, saya dan Mon melewati jam makan malam kami di lapangan ini. 10 menit kami disuguhi pertandingan yang manis, berkualitas, dan ketika salah satu pemain Sikka tertanduk kepalanya oleh pemain Ngada, semua masih bisa berjalan dengan aman, walau akhirnya pemain Sikka harus ditandu keluar lapangan (sepertinya harus ke RS). Dan ketika gol manis dicetakkan oleh pemain berbakat dari Ngada, semua penonton bersorak-riang, saya pun bersorak dengan bangga, inilah pertandingan yang dinanti, dan tidak sia-sia, saya dan Mon datang dan turut serta menyaksikan laga final ini. Atapun pada menit ke 23, tendangan pinalty bagi Sikka, sehingga kedudukan 1 - 1, semua masih berjalan dengan aman dan damai. Laga aman dan damai, hanya mampu bertahan selama 25 menit pertama, selanjutnya bisa ditebak, hanya gara-gara kesenggol, seorang pemain Ngada, langsung beriak, dan terjadilah peperangan, adu jontos tak bisa dihindari, ketika wasit memberikan kartu merah, wasitnya malah yang hampir K.O oleh kepalan tangan para pemain. Wasit mana yang mau dan rela jiwanya terancam untuk sebuah pertandingan memalukan seperti ini, akhirnya wasit memilih lebih baik meninggalkan pertandingan. Saya, Mon dan penonton hanya bisa duduk miris, saya pun berpikir inikah klimaks, cermin budaya-kemasyarakatan Flores yang merebak, entah siapa yang tidak becus, pemain, panitia, penonton yang tidak bisa duduk manis, siapa yang mau disalahkan?

Jujur diakui, tidak mudah mengorganisir semua perantau Flores dan sekitarnya dalam hajatan besar seperti ini,apalagi di ibukota Negara, yang terkenal sebagai surga para perantauan, selalu saja ada hal yang tidak beres. Saya pun mulai sedikit berasumsi apakah ini bersinggungan dengan budaya Flores yang selalu panas lebih cepat. Lebih kacau lagi, endingnya malah seperti tawuran masal, ketika kami penonton dilempari batu. Adakah mereka berpikir bahwa penonton juga saudara-saudari mereka, atau seandainya, adik/kakak/om/tante atau bahkan orangtuanya yang kena lemparan batu tersebut? Rrrrggggghhhhh, saya pun akhirnya harus menerima omelan Mon, pertandingan apa ini? malah tawuran?bikin malu!

Tanpa menunggu lama, saya dan Mon akhirnya memilih angkat kaki dari tempat ini, dalam perjalanan pulang otak sayapun tidak bisa diam, saya berpikir keras :
  • Apa harus berakhir dengan seperti ini?
  • Konsep seperti apa yang pantas dan layak, sehingga semua pemain legowo-menahan emosi, bahwa ini hanyalah sebuah pertandingan. Ujian akan sportifitas?
  • Kekerabatan-kekeluargaan-bisa kacau balau hanya karena sebuah pertandingan yang alih-alih visi-misinya untuk memupuk kekerabatan-kekeluargaan itu sendiri?

Oh, Copa Florette, entah kapan, saya dan ribuan saudara perantau lain, akan disuguhi laga cantik, dengan nilai sportifitas tinggi, dan juga bukan oleh sebuah jargon yang asal nempel.

Semoga semesta berbahagia.

(Review ini bukan untuk menghakimi semua yang sudah terlibat baik secara langsung ataupun tidak langsung, tetapi hanyalah sebuah bahan pemikiran bersama, anyway, two thumbs buat panitia yang mampu menggelar hajatan besar ini)

Selasa, 01 September 2009

Small is Beautifull

Akhirnya saya bisa juga mengumpulkan serpihan-serpihan yang dipastikan hampir usang dijadikan sebuah kisah yang menarik, dan bisa berbagi dengan teman-teman seperjuangan. Hsyah..perjuangan hmmm tapi lebih kedengaran menarik kalau saya bilang kisah "small is beautiful".
Dalam blog ini saya pernah menceritakan tentang kisah ketika saya bertumbuh dalam sebuah pupuk yang dinamai "SMPK Frateran BHK Ndao" , saya masih juga belum berapa besar untuk berbuah, dan masih perlu pupuk lagi agar kuat dan bisa bertahan dalam hutan belantara yang pekat ini. Berunding dengan orang tua, pupuk apa yang layak diberikan ke saya, yang nota bene, tidak pintar (terbukti tidak bisa mengalahkan smart friend like Gerhilda atau Philip, mimpi kali ya..), bukan dari orang tua yang kaya atau mampu, tetapi karena saya juga doyan pupuk yang populer, doyan dengan berbagai jenis teman bertumbuh saya pun harus berpikir keras untuk sebuah keputusan yang layak dan sesuai buat saya. Informasi didapat teman bertumbuh yang sama-sama memakai SMPK Frateran BHK Ndao, 85 % alih-alih akan menggunakan pupuk yang cukup mahal ( untuk ukuran saya dan orang tua ), SMA K Syuradikara, pphhfff pilihan yang cukup sulit, akhirnya ada ultimatum, jika saya keukeh ke SMA K Syuradikara, maka saya tidak akan diberikan pupuk lanjutan yang sangat saya idamkan, Perguruan Tinggi di seberang pulau. Terpaksa saya harus menentukan pilihan dan mengambil alternatif yang cukup ringan sesuai kantong dan budget, saya pun rela banyak kehilangan sebagian teman bertumbuh karena terpisah oleh lahan. Cukup lama saya berpikir dan kemudian memberikan keputusan kepada orang tua, bahwa saya akan memilih SMA N 1. Pengalaman saya memilih lahan memang tidak pernah ke "Negeri" sehingga agak ganjil buat saya, dan perlu pemahaman yang extra untuk penyesuain. Dengan tangan terbuka saya pun harus bisa menerima tantangan baru, jenis yang baru, agak extrim dan pasti mainstream. Tekad utuh memberikan semangat yang membara.
Masa perkenalan, cukup terperangah dengan style baru ini, seperti doa sebelum kegiatan dimulai bunyinya " mari berdoa sesuai kepercayaan kita masing-masing". Kalau boleh saya bilang "terbatas" ruang kelas yang sederhana, meja-kursi yang sudah relatif reot, lapangan yang terbatas, hanya bisa basket dan volley, semua serba terbatas. Yang mungkin tidak terbatas adalah pagar sekolah yang hanya dibatas oleh batang pohon kesi (nama yang saya kenal), disana-sini bolong, asyik buat mangkir. Ada beberapa kenangan yang cukup saya ingat selama saya di lahan ini,
  • Saya pernah diajukan untuk mendapat beasiswa Supersemar, tetapi akhirnya tidak jadi karena katanya survey Dinas P&K, orang tua masih mampu hushysyh bilang saja mau dikasih ke sanak familinya ^_^
  • Punya geng waktu kelas 1, yang doyan bolos. ( Waktu pertama melakukan ini, sampai kebawa mimpi, secara anak baik-baik, eh bisa juga bolos )
  • Team volly ball putra paling oke.
  • Penghuni kelas super mini, kelas 2 hanya 8 orang, kemudian dapat murid pindahan 3 orang, bisa sampai 10 orang, berlanjut sampai kelas 3 sisa 9 orang, karena 1 orang harus tinggal kelas. Apa karena kelas Fisika selalu kurang peminat?
  • Mulai "jatuh cinta" husssh gak perlu pakai pengumuman kayaknya
  • Angkatan paling aktif, karena bisa mengaktifkan kembali mading sekolah yang sempat vakum.
  • Selalu kompak untuk bolos, sampai-sampai seisi kelas dimusuhin sama guru kimia, ngambek ceritanya, sehingga kitapun harus membuat surat pernyataan permintaan maaf yang dibuat oleh ketua kelas.
  • Pernah jadi penggerek bendera, eh bukan merah-putih tapi putih-merah...( kisah paling memalukan secara cowok yang ditaksir juga ikutan upacara )

Dan masih banyak kisah-kisah lain yang sayang untuk dibuang, walau mungkin sudah usang. Media ini yang membuat saya mengenal perbedaan, seperti ketika pelajaran agama, semua terpisah, Katolik selalu ngumpul di kelas Biologi, Islam juga kumpul jadi satu, serta Kristen Protestan yang sering tidak ada gurunya. Lebih banyak menggambarkan Ende yang sesungguhnya, karena tidak hanya penganut Katolik yang tekenal sebagai mayoritas, tetapi Ende juga punya banyak saudara yang Muslim yang lumayan ataupun Kristen yang relatif tidak banyak. Tidak hanya ada acara Natal bersama, tetapi saya pun akhirnya mengenal acara Idul Fitri bersama, saya sedikit tahu tentang Islam, tentang wanita yang memakai jilbab (secara punya teman kelas, perempuan hanya 2, dan keduanya memakai jilbab). Mulai mengenal kata Sidi ( bagi umat Kristen Protestan), ketika ada teman yang Sidi, dan kemudian saya ikut diundang untuk hadir. Ranah yang aku sebut sebagai small is beautifull. Perbedaan yang mampu menyatukan kami dalam pertumbuhan yang indah. Saya akhirnya bisa belajar menghargai perbedaan, karena itu indah.

Saya lebih banyak berkutat dengan buku-buku, pratikum-pratikum yang harus dilalui, tetapi saya pun juga bisa asyik dengan bolos, keliling kota naik bemo (gratis), rujakan bareng, nongkrong dan ngebakso bareng. Tempat- tempat favorit , seperti Kios Ka'e (manisan asamnya yummy), rumahnya Fani Resi (jajan gratis, secara punya kios), perpustakaan sekolah ( kalau pelajaran kosong), ngebakso di Jl Banteng, rumahnya Yantry Nasefa/Saiyo (makan gratis).

Pupuk ini mampu memberikan pencerahan, saya bisa melihat dunia lain, saya diberikan bekal yang mampuni, dan ketika saya sampai di titik lain, saya pun tidak kaget lagi. Berevolusi, itu pasti dan saya menyukainya, keadaanlah yang mampu membuat saya siap dengan style ini, dan menerimanya sebagai konsekuensi dari perjalanan tumbuh itu sendiri. Pupuk ini memberikan nilai tambah, saya mampu bergerak dalam ruang yang lebih bebas, saya tidak merasa kerdil , karena saya tidak sendiri. Setiap perjalanan memberikan efek yang berbeda, saya pun mengamininya. Kadang tidak harus lurus agar cepat sampai tujuan, butuh kelokan,butuh tanjakan, dan yang pasti mampu memberikan kekuatan agar tepat sasaran.

Kemudian menjadi pertanyaan pupuk mana yang paling manjur, atau media mana yang paling tepat? Mungkin saya akan menjawabnya bahwa semua sama takarannya, tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang, waktunya sama, energinya sama, manjurnya juga sama, efeknya juga sama . Tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang. Karena itu saya menikmatinya. Dan tentu saja pupuk itu mampu memberikan nilai tumbuh bagi saya, sehingga saya berevolusi dengan baik, memang tidak selalu mulus seperti tol, tetapi saya akan selalu mampu melewatinya.

Semoga pertumbuhan ini, mampu menjadikan saya sebagai sebuah pohon yang rindang, hijau, berakar kuat,berbuah banyak.

Semoga semesta berbahagia.

( for my class mate, Yermin, Benny, Saibah, Wati, Senny, Piter,Yulius we're small but it's enough for us, i love you guys )