Selasa, 24 Juli 2012

Just walk beside me and be my friend




Bertemu denganmu bukan sebuah kebetulan, aku percaya semua yang terjadi di dunia ini bukan serba kebetulan. Garis hidup dan peristiwa yang kita alami seperti dua mata koin yang tidak dapat dipisahkan. Jadi tentu saja bagian inipun kuanggap sebagai anugerah dan kuasa Tuhan buat aku dan kamu. Aku menyayangimu tanpa sempat kucegah.


Memulainya dengan salah,  aku mecoba meyakini diriku tidak ada yang salah, dan kemudian dalam perjalanan waktu aku mulai merasakan ada yang salah. Perasaan aku menguap tanpa tersisa, mungkin karena tidak sehat nya aku berpikir, seperti yang sering kamu katakan. Mencerna semua peristiwa antara kamu dan aku, seperti proses anoreksia, aku menelannya, merasakan manis ataupun pahit, tetapi tubuhku menolaknya. Menolak tanpa sempat kucegah.

Kamu bukan yang aku butuhkan, kamu bagai dunia lain yang tidak dapat  kutinggali. Mungkin karena kondisiku, mungkin juga tidak. Tapi yang kutahu, otakku mengabadikanmu namun hatiku belum terlanjur menyimpanmu. Kamu bagai kabut yang mampir kemudian akan berlalu.
Kamu terlalu indah untuk kumiliki, terlalu sempurna untuk  kugapai, benakku menyimpan semua peristiwa dan merekamnya sebagai  proses yang harus aku jalani.

Kulepas kamu, dan berharap kamu tetap berada disampingku, menjadi teman, kakak yang senantiasa memberikan keindahan dari sebuah senyum ketulusan. Berharap kamu menemukan cinta dan kedamaian yang kamu dambakan. Selalu ada doa untuk kebahagiaamu.
 

Semoga semesta berbahagia

Minggu, 23 Oktober 2011

'Ndeso

Saya penggila jalan-jalan, dan kegiatan jalan-jalan saya selalu ter-akomodir oleh tugas kantor. Kali ini untuk yang ketiga kalinya saya ke Batam, tentu saja yang paling bikin saya suka adalah setiap tugas "jalan-jalan" minimum waktu tinggal saya adalah 1 minggu. Herannya saya selalu kebagian jatah tugas luar kantor,  mungkin karena saya easy going, tidak neko-neko, alias di mana saja saya bisa survival. Jalan-jalan kali ini cukup menggelikan karena ke'ndesoan" saya yang membuat perut melilit.

Sore hari menjelang, banyak gerimis, fyi , cuaca Batam kalau bulan Oktober memang selalu labil. Dan tepat malam minggu, saya ke sebuah plaza keren di daerah down town Batam, Nagoya. Mampir ke tempat ini juga karena alasan 'ndeso, sudah seminggu  di Batam baju sehari-hari saya itu-itu saja. yang lihat sudah banyak protes, itu lagi, itu lagi. Kembali ke cerita saya, plaza ini lumayan keren dan ramai, parameter nya karena ada kafe J.Co itu menurut saya, dan ada tempat nongkrong dan kongkow lain yang cukup luas areanya.
Karena tujuan utama adalah mencari baju, maka saya pun tidak berputar-putar tak tentu arah, mencari baju pilihan adalah kegiatan pertama setibanya saya di plaza tersebut. Aha, ada Matahari Dept. Store saya bisa dapat kemeja dan kaos yang bisa buat ganti. Selesai kegiatan di Matahari, terlintas untuk masuk ke beberapa butik yang menjual baju luar (katanya,red), saya  akhirnya mampir di sebuah butik yang ramai pengunjung, ibu-ibu dan remaja putri, kelihatannya juga lagi bongkar dan pasang pakain, karena tampak tumpukan pakaian berserakan di mana-mana. Saya akhirnya memilih sebuah baju keren, mencari stempel harga, tetapi saya tidak menemukan harga di stempel merk baju tersebut. Ketika sedang bingung, lewatlah seorang pegawai toko, saya bertanya sambil tersenyum, ini gratis ya Mba, kok gak ada harga? Ekspresi wajah si Mbak lebih bengong dari pada wajah saya dan menatap geli balik, Lho kan sudah ada harga , itu tulisan angka 30. Saya diam. Angka 30, maksudnya kode gitu? Si Mba pasang  muka sebel, langsung nyelutuk, itu 30 dollar. Whaaaaat? 30 dollar dalam  US dollar. Hening.

Tidak butuh waktu lama saya kabur, sejauh-jauhnya. Bukan masalah saya tidak dapat meng-kurs-kan ke dalam rupiah, tapi apa perlu saya beli baju yang bisa saya temukan di Pasar Metro Tanah Abang, dengan harga yang lebih "masuk akal" , ya dalam Rupiah tentu saja.Saya tidak mau terlibat dalam hal yang  nampak bagi orang lain 'ndeso tapi bagi saya adalah pentingnya penghargaan atas Rupiah jauh lebih bernilai. Karena saya masih di Batam, Batam kan masih Indonesia  juga kan? 

Semoga semesta berbahagia
Gambar dipinjam dari sebuah situs, plaza yang sedang diceritakan.


Kamis, 20 Oktober 2011

Aku dan Imanku


Saya menjadi penganut Katolik karena warisan, seumur hidup belajar dan mencoba mengerti tentang warisan ini. Ke-katolikan saya layaknya sebuah grafik, atau lebih tepat gambaran sebuah gunung dan lembah yang berulang-ulang. Kadang saya bisa begitu "katolik", tetapi kadang pula saya begitu "jauh". Saya kemudian sadar menjadi penganut Katolik tidaklah mudah, apalagi jika dimensi warisan sudah menjadi pilihan.

Kesulitan yang saya alami, ketika sebuah pergolakan batin yang saya rasakan, atau lebih tepatnya timbulnya pertanyaan-pertanyaan beruntun, apa yang dicari dalam hidupmu? atau relasi seperti apa yang saya bentuk dengan Tuhan saya, dan sebagainya. Beberapa catatan sebagai orang Katolik yang kadang tidak saya mengerti, tapi berusaha saya selami. Membangkitkan sebuah ukuran dari iman saya, saya Katholik karena pilihan hidup saya atau karena warisan?

Perubahan pola ini mulai saya rasakan ketika, saya melakukan ziarah April 2011, di Larantuka, Flores Timur, di situ saya seperti disadarkan bahwa relasi itu akan mudah jika saya tidak perlu mencari-cari ruang di tempat lain. Jawaban-jawaban itu tidak perlu dicari, karena pertanyaan dan ruang itu adalah diri saya sendiri. "Rumah" itu ada dalam diri saya sendiri, tidak perlu mencari di tempat lain ketika ketenangan itu ada dalam diri saya sendiri. Ketika saya mengerti akan rumah, maka saya pun mengerti akan Tuhan.

Dalam doa sebelum tidur, atau doa di gereja, selalu banyak list dan tuntutan serta permintaan, seakan-akan tidak ada puasnya saya dengan apa yang ada, dan kecemasan saya semakin terlihat ketika semakin hari semakin panjang list dan tuntutan terhadap Tuhan. Saya seperti tambah bingung ketika banyak sekali yang saya inginkan, dan semakin kabur ketika saya semakin tidak mengerti apakah ini keinginan daging saya atau keinginan batin saya. Kebimbangan, kebingungan selalu ada dalam setiap doa.
Semua ini seperti dijawab , saya seperti ditempeleng oleh hembusan angin laut, ketika Sabtu itu, sehabis ziarah panjang, Pkl 05:00 pagi nampaklah sekelompok awan, yang membentuk malaikat, nampak jelas di hadapan saya, hanya bisa duduk terpaku, terdiam seribu bahasa, meyakinkan diri saya, bahwa tidak ada hal indah selain semua yang sudah dan sedang saya alami, datang, dan bisa hadir salam ziarah ini, pemandangan takjub ini, menyaksikan lukisan indah yang hanya terpampang di depan mata saya. Tidak lama, sekitaran 3 menit, tapi mampu merubah semua yang saya pikirkan, akan penghakiman, akan tuntutan, semua seakan lenyap, hilang, yang tertinggal hanya rasa syukur.

Tuhanku sederhana, se-sederhana saya mengucapkan doa saya. Tuhanku dekat sedekat saya memahami diri saya sendiri. Dan doa itu ,cukup hanya ucapan syukur dan terima kasih sudah melukiskan semua permintaan, list dan tuntutan.

Semoga semesta berbahagia
Gambar yang saya ambil ketika pagi ajaib itu.



Selasa, 12 Oktober 2010

Kamu dalam Anugerah


Mungkin memang untuk tidak dimengerti.
Ketika banyak pertanyaan, aku seperti berjalan tertatih dalam gurun yang memenjarakanku.
Didewasakan oleh hitam dan putih, kemudian mengenal abu-abu.
Aku belajar tentang dirimu. Belajar tentang bagaimana mengurai hati.
Rangkaian cinta yang sulit untuk disatukan, logika dunia yang tak bisa ku pahami.
Dan semua ini tertinggal oleh waktu, semua meninggalkan waktu.
Mungkin, hanya aku yang masih memeluk kenangan.
Walau akhirnya waktu jua yang menuntunku padamu, berbalut selimut takdir.

Aku berjuang dalam kesadaran, mengenyahkan mimpi, menepikan egois.
Melebur makna cinta yang sederhana dan dewasa.
Yang tak pernah meminta, ketika jiwa menyadari semua tak harus dimiliki.
Melebur ke dalam roh-roh kebijaksanaan tanpa ego. Memaknai sebagai penjelmaan, bukanlah beban.
Aku berharap telah mengalirkan kepada yang berhak. Biarkan aku melahirkan tanpa paksaan, dan mengabaikan hinaan. Aku tak mau memahaminya sebagai dilema, hitam dan putih. Karena pengertianku melarutkan kerinduan yang dewasa. Bersembunyi dalam keyakinan bahwa ini adalah anugerah.

Semoga semesta berbahagia.
Gambar dipinjam dari Getty Images.

Selasa, 30 Maret 2010

Partisipasi kecil-ku


Beberapa hari sebelumnya saya sudah mulai diingatkan lewat iklan di tv, tentang "Earth Hour" Sabtu, 27 Maret 2010. Tahun lalu, saya telat untuk ambil bagian dalam kegiatan "mematikan lampu", telat mengerti, telat informasi, dan saya juga baru ngeh beberapa hari setelah saya membaca blog favorit saya Dee Idea. Sejak saat itu saya bertekad tidak akan melewatkan moment ini, tahun depan, dan berjanji akan menjadi kalender tahunan di rumah saya.

Jumad, 26 Maret 2010, kebiasaan ke pasar tradisonal pada pagi hari, guna membeli sayuran atau ikan segar tidak saya lakukan, berhubung kulkas akan saya bersihkan sehingga tidak perlu repot untuk mengisi. Saya siap dan bertekad baja untuk ambil bagian dari kegiatan peduli ini.
Sabtu, 27 Maret 2010, sepulang kerja, sebisa mungkin saya menyelesaikan aktifitas yang berhubungan dengan kebutuhan akan listrik, praktis beberapa jam sebelum waktunya, saya benar-benar siap. Satu jam, sebelum pukul 20:30, saya sudah makan malam, mie goreng ala Katrin yummy karena pake omlet putih telur, sendiri, karena Mon juga setiap malam minggu mempunyai aktifitas menyangkut hobby, hampir setiap malam minggu saya pasti melaluinya sendiri, di rumah, nonton film favorit di dvd, atau membaca novel. Selesai makan, saya langsung mencuci piring kotor, dan kemudian siap-siap diri di kamar.
Pukul 20:30, saya mulai mematikan semua lampu, mencabut semua kabel sambungan ke stop kontak, kulkas mati, AC pun mati, tv mati, lampu padam, dispenser tidak lupa saya matikan. Gelap, sunyi, hanya terdengar langkah kaki beberapa anak kecil yang berlari kecil di depan gang, atau teriakan sorak-sorai anak-anak yang sedang bermain. Saya terdiam dan duduk dalam gelap di kamar, terasa ada hembusan angin dari daun jendela yang saya buka. Dua puluh menit terlewati , saya terdiam dalam sunyi, selanjutnya saya rebahan, tidak lupa saya siapkan alarm bunyi , pukul 21:30. Tidur .

Tidak banyak memang warga di lingkungan tempat tinggal saya yang tahu tentang hal ini, apalagi komunitas pekerja kelas bawah, yang mungkin sudah sulit memikirkan tentang isi perut. Saya juga melihat beberapa tetangga tetap melakukan aktifitas normal, tanpa memusingkan kenapa seisi rumah saya yang gelap gulita padahal penghuninya beberapa jam yang lalu baru pulang dari kantor. Gerakan sederhana ini memang belum banyak dimengerti oleh kebanyakan komunitas warga kelas dua. Tetapi saya setuju dengan tulisan Dee, bahwa gerakan sederhana ternyata bisa dimobilisasi di satu muka bumi , yang nota bene penuh carut marut ekspolitasi besar-besaran sumber daya alam. Kita ditantang kesanggupan kita untuk melepaskan diri dari ketergantungan akan listrik selama se-jam.

Alarm pun berbunyi, tak terasa satu jam telah lewat, pukul 21:30, saya terbangun tanpa merasa sudah sejam, tanpa merasa sekitar 35 menit saya ketiduran. Saya bangun, dengan bantuan, terangnya cahaya hand-phone, kemudian turun, untuk mulai menyalakan lampu, menyalakan kulkas, dispenser. TV pun tidak luput saya hidupkan kembali. Saya sempat menyaksikan kegiatan yang sama di lakukan oleh beberapa komunitas peduli lingkungan di Monas dari salah satu siaran tv favorit saya. Setidaknya kesadaran dan partisipasi masyarakat tahun ini lebih baik dari tahun lalu, info salah satu penyiar wanita di tv.

Bahagia, ringan, itu yang saya rasakan. Bahwa dengan komitmen ini, saya berpatisipasi walau kecil tapi bernilai besar. Semuanya hanya untuk "kakek BUMI" yang sudah semakin renta.
(Gambar dipinjam dari Getty Images)


Semoga semesta berbahagia

Selasa, 29 September 2009

Tentang Sebuah Komitmen


Beberapa hari belakangan terjadi beberapa peristiwa yang cukup meng-influence saya untuk sejenak kemudian berniat menulis, sedikit pencerahan yang mungkin saya dapat. Saya kemudian bertanya sejauh mana komitment itu bisa dijaga paling tidak bukan sebagai ungkapan universal yang hanya bisa dipakai dalam hubungan suami-istri, walaupun mungkin kaca mata saya ataupun orang sekeliling saya akan langsung merujuk dan kemudian mengkotakkannya. Beberapa kejadian mempunyai benang merah tentang ukuran sejauh mana bertanggung jawab. Dalam kacamata saya komitmen adalah tanggung jawab.

Dan secara sadar kemudian komitment itu dilanggar, dengan beberapa alasan yang saya kira hanya untuk menghindar dan membenarkan diri akan sebuah pengingkaran. Memuaskan kedagingan. Ketika beberapa teman kantor harus mangkir atau mbolos padahal jatah liburan sudah selesai, dengan alasan bus atau kereta penuh, atau ketika teman lain harus membongkar kelemahan istri/suami pada beberapa teman, dengan alasan kecewa, atau ketika saya berjanji dengan seorang teman untuk bertemu, yang tersisa hanya janji. Alasan memang sifatnya manusiawi dimana setiap kali kita mulai mengingkari hal-hal yang secara sadar kita tahu itu salah, kemudian membuat alasan yang hanya untuk membenarkan sebuah tindakan yang jelas-jelas kita tahu bahwa itu sebuah kekeliruan.

Saya pun sering kali berjalan jauh tanpa bimbingan tanggung jawab, dan secara sadar kemudian membenarkan tindakan tersebut. Terus terang membuat saya frustrasi sendiri, memang "tekanan" sering kali membuat kita tampil tanpa topeng. Berbicara mengenai tekanan, tentu saja tekanan dengan intensitas yang berlebihan yang membuat kita sering kali keluar jauh tanpa bimbingan tanggung jawab. Garis putih batasan akan sebuah komitment pun dilewati berulang kali. Saya kemudian berpikir bagaimana dia bisa berjalan lurus dalam sebuah komitment jika saya terus mengingkari diri sendiri. Ketika berulang kali saya melanggar komitment saya juga berulang kali menipu diri saya sendiri, setiap pemikiran karena tekanan yang berlebihan baik kesedihan, kegembiraan, kesuksesan bahkan kegagalan sekalipun tidak selalu berakhir sempurna. Hilang sebuah kesadaran dan pengontrolan diri, tatanan rapi dirusak oleh "tekanan" yang berlebihan.

Beberapa ulasan dari blogger lain tentang defenisi komitment cukup menarik sebagai alasan untuk bisa dicerna : Komitmen adalah sesuatu yang membuat seorang istri tidak membongkar kelemahan suaminya pada orang lain. Sebaliknya, menutupi rapat-rapat setiap kekurangan itu dan dengan bangga bertutur bahwa sang suami adalah anugerah terindah yang pernah hadir dalam hidupnya. Komitmen adalah sesuatu yang membuat seorang istri terus mendampingi suaminya tanpa mengeluh atau mengomel. Sebaliknya, dengan setia tetap mendukung dan menyemangati meski sang suami pulang ke rumah dengan tangan kosong, tanpa sepeser uang pun. Komitmen adalah sesuatu yang membuat seorang pekerja menyelesaikan tanggung jawabnya dengan baik, sekalipun tugas itu amat berat dan upah yang diperoleh tidak sepadan. Komitmen adalah sesuatu yang membuat seseorang memikul resiko dan konsekuensi dari keputusannya tanpa mengeluh, dan menjalaninya dengan penuh rasa syukur sebagai bagian dari kehidupan yang terus berproses.

Ketika kembali pada posisi nol hal terpenting yang harus dimiliki adalah pengampunan. Pengampunan bukan sebuah kelemahan. Saya bisa memaafkan diri saya sendiri ataupun orang lain, dan berdasarkan itu saya kemudian bangkit , berdiri tegak, dan mengerti bahwa saya tengah berproses. Tidak bisa dipungkiri setiap pelanggaran akan sebuah komitment adalah bekas yang ditinggalkan dan akibatnya. Tetapi karena itu sebuah proses saya pun harus menerimanya sebagi suatu konsekuensi. Proses itu kemudian membentuk kematangan dan kedewasaan. Mengakui secara sadar bahwa saya telah melewati garis putih, dan pengampunan sanggup mengembalikan saya ke posisi semula.

Semoga semesta berbahagia


Senin, 07 September 2009

Copa Florette in My Review

Sebuah hajatan besar telah berakhir ditandai dengan sebuah noda hitam, yang mungkin tidak akan mudah menghilangkannya, akan sulit nantinya mencari deterjen yang sanggup menggilas noda hitam ini. Klimaks kegetiran, akan cermin dari budaya-kemasyarakatan yang merebak? Walahuallam.

Copa Florete 2009. Hajatan besar yang dibuat oleh perantau se-Jabodetabek asal Pulau Flores dan sekitarnya. Dibuka dengan upacara yang gegap-gempita, tepatnya 25 Juli 2009 di GOR Pemuda Rawamangun, Jakarta Timur, memupuk sportifitas, dengan jargon Sprotifitas YES Narkoba NO. Ketika awal mula saya mendengar hajatan ini, saya sangat apresiatif dengan pendahulu-pendahulu saya yang cukup jelas melihat celah, menyatukan semua dalam kekerabatan dengan misi yang jelas. Saya memang tidak pernah hadir dalam setiap pertandingannya, tetapi dengan setia tetap memantau perkembangannya. Ketika beberapa kali mendengar kericuhan kecil terjadi dalam beberapa pertandingan, saya berpikir itu agak biasa dalam sepak bola. Apalagi yang dipilih mewakili daerahnya adalah yang bukan atlit tentunya, mungkin saja tidak terbiasa dengan sedikit kekacauan yang disebabkan oleh olahraga ini, ditekel, ditanduk,dihadang sehingga adanya keributan kecil masih saya lihat sebagai hal yang biasa. Untungnya adik sepupu yang rajin menyaksikan pertandingan baik setiap Sabtu sore ataupun Minggu sore, sehingga dapat meng-up-date hasil pertandingan, begitupun ketika Ende kalah di babak penyisihan, saya tetap semangat menanti dengan was-was hasil akhir siapakah yang masuk ke babak final? Ketika akhirnya Sikka berhasil mengalahkan Nagakeo (pendatang baru yang mampu menunjukkan taringnya), serta Ngada (juara bertahan) yang berhasil mengungguli Alor dibabak semi final.

Terjawab sudah kekuatiran saya, bahwa di partai final, 5 September 2009, akan saling berhadapan musuh bebuyutan (sejak jaman saya masih kuliah di Surabaya yang akan selalu bertemu di partai final adalah kesebelasan Ngada vs Sikka). Cukup mengkuatirkan apakah pertandingan akan berlangsung dengan baik, mulus, tanpa keributan? Mengingat Copa Florette sebelumnya ada isiden memalukan dalam laga final. Sayapun memberanikan untuk turut menyaksikan kemeriahan ini, dengan usaha dan bujuk rayu agar Mon pun mau menemani saya untuk menyaksikan partai final, bentuk dari keberhasilan perantau Flores, sebagai salah satu perantau Flores saya patut bangga, diselipkan sebuah tanya apakah Maluku atau propinsi/daerah lain punya hajatan seperti ini nah lho? ^_^

Semangat penuh, saya dan Mon berangkat ke GOR Pemuda, dengan angan-angan dapat duduk manis menyaksikan sebuah pertandingan bagus, sambil bisa celingak-celinguk mungkin ada yang dikenal, karena di hajatan seperti inilah kita dapat bertemu dengan sesama perantau yang mungkin jarang bisa kita jumpai. Awal yang mulus, pertandingan perebutan tempat ketiga antara Alor vs Nagakeo, laga yang tidak boleh dipandang sebelah mata, cukup menghibur, tetapi apa lacur karena kecelakaan kecil, kemudian mengakibatkan adu jontos tak bisa dihindari, dan lebih memalukan adalah para penonton pun tidak ketinggalan meramaikan adu jontos ini. Tidak tahu dari pihak mana yang memulai, saya dan Mon dan ratusan atau bahkan ribuan pasang mata yang merupakan penonton yang manis harus disuguhi pertunjukkan ekstra. Pertanyaan saya lagi berapa ratus pasang mata yang merupakan anak-anak kecil yang harus menyaksikan , bapak, kakak, om-nya berkelahi di lapangan sepak bola? Terlintas di pikiran mereka oooh lapangan sepak bola juga bisa jadi lapangan tinju ^_^. Pertandingan ini dapat juga berakhir dengan kemenangan Alor. Sebelum partai utama, Sikka vs Ngada, ada sebuah pertandingan yang dipertotonkan oleh senior-senior (pertandingan perut lawan perut ^_^...), bisa damai, dengan kualitas yang bagus ditambahi lagi pertandingan yang sangat sportif, tidak ada suguhan ekstra (harusnya seperti ini, damai, tenang, semua menikmati bagaimana bola bergerak).

Partai utama, akhirnya dimulai juga pada Pkl 20:15 WIB, diawali dengan tendangan pertama oleh Deputi Olahraga (mewakili Menteri Olahraga, Bapak Adyaksa Dault, yang tidak sempat hadir). Walau dengan perut yang agak keroncongan, hanya ditemani dengan beberapa snack dan air minum, saya dan Mon melewati jam makan malam kami di lapangan ini. 10 menit kami disuguhi pertandingan yang manis, berkualitas, dan ketika salah satu pemain Sikka tertanduk kepalanya oleh pemain Ngada, semua masih bisa berjalan dengan aman, walau akhirnya pemain Sikka harus ditandu keluar lapangan (sepertinya harus ke RS). Dan ketika gol manis dicetakkan oleh pemain berbakat dari Ngada, semua penonton bersorak-riang, saya pun bersorak dengan bangga, inilah pertandingan yang dinanti, dan tidak sia-sia, saya dan Mon datang dan turut serta menyaksikan laga final ini. Atapun pada menit ke 23, tendangan pinalty bagi Sikka, sehingga kedudukan 1 - 1, semua masih berjalan dengan aman dan damai. Laga aman dan damai, hanya mampu bertahan selama 25 menit pertama, selanjutnya bisa ditebak, hanya gara-gara kesenggol, seorang pemain Ngada, langsung beriak, dan terjadilah peperangan, adu jontos tak bisa dihindari, ketika wasit memberikan kartu merah, wasitnya malah yang hampir K.O oleh kepalan tangan para pemain. Wasit mana yang mau dan rela jiwanya terancam untuk sebuah pertandingan memalukan seperti ini, akhirnya wasit memilih lebih baik meninggalkan pertandingan. Saya, Mon dan penonton hanya bisa duduk miris, saya pun berpikir inikah klimaks, cermin budaya-kemasyarakatan Flores yang merebak, entah siapa yang tidak becus, pemain, panitia, penonton yang tidak bisa duduk manis, siapa yang mau disalahkan?

Jujur diakui, tidak mudah mengorganisir semua perantau Flores dan sekitarnya dalam hajatan besar seperti ini,apalagi di ibukota Negara, yang terkenal sebagai surga para perantauan, selalu saja ada hal yang tidak beres. Saya pun mulai sedikit berasumsi apakah ini bersinggungan dengan budaya Flores yang selalu panas lebih cepat. Lebih kacau lagi, endingnya malah seperti tawuran masal, ketika kami penonton dilempari batu. Adakah mereka berpikir bahwa penonton juga saudara-saudari mereka, atau seandainya, adik/kakak/om/tante atau bahkan orangtuanya yang kena lemparan batu tersebut? Rrrrggggghhhhh, saya pun akhirnya harus menerima omelan Mon, pertandingan apa ini? malah tawuran?bikin malu!

Tanpa menunggu lama, saya dan Mon akhirnya memilih angkat kaki dari tempat ini, dalam perjalanan pulang otak sayapun tidak bisa diam, saya berpikir keras :
  • Apa harus berakhir dengan seperti ini?
  • Konsep seperti apa yang pantas dan layak, sehingga semua pemain legowo-menahan emosi, bahwa ini hanyalah sebuah pertandingan. Ujian akan sportifitas?
  • Kekerabatan-kekeluargaan-bisa kacau balau hanya karena sebuah pertandingan yang alih-alih visi-misinya untuk memupuk kekerabatan-kekeluargaan itu sendiri?

Oh, Copa Florette, entah kapan, saya dan ribuan saudara perantau lain, akan disuguhi laga cantik, dengan nilai sportifitas tinggi, dan juga bukan oleh sebuah jargon yang asal nempel.

Semoga semesta berbahagia.

(Review ini bukan untuk menghakimi semua yang sudah terlibat baik secara langsung ataupun tidak langsung, tetapi hanyalah sebuah bahan pemikiran bersama, anyway, two thumbs buat panitia yang mampu menggelar hajatan besar ini)