Senin, 07 September 2009

Copa Florette in My Review

Sebuah hajatan besar telah berakhir ditandai dengan sebuah noda hitam, yang mungkin tidak akan mudah menghilangkannya, akan sulit nantinya mencari deterjen yang sanggup menggilas noda hitam ini. Klimaks kegetiran, akan cermin dari budaya-kemasyarakatan yang merebak? Walahuallam.

Copa Florete 2009. Hajatan besar yang dibuat oleh perantau se-Jabodetabek asal Pulau Flores dan sekitarnya. Dibuka dengan upacara yang gegap-gempita, tepatnya 25 Juli 2009 di GOR Pemuda Rawamangun, Jakarta Timur, memupuk sportifitas, dengan jargon Sprotifitas YES Narkoba NO. Ketika awal mula saya mendengar hajatan ini, saya sangat apresiatif dengan pendahulu-pendahulu saya yang cukup jelas melihat celah, menyatukan semua dalam kekerabatan dengan misi yang jelas. Saya memang tidak pernah hadir dalam setiap pertandingannya, tetapi dengan setia tetap memantau perkembangannya. Ketika beberapa kali mendengar kericuhan kecil terjadi dalam beberapa pertandingan, saya berpikir itu agak biasa dalam sepak bola. Apalagi yang dipilih mewakili daerahnya adalah yang bukan atlit tentunya, mungkin saja tidak terbiasa dengan sedikit kekacauan yang disebabkan oleh olahraga ini, ditekel, ditanduk,dihadang sehingga adanya keributan kecil masih saya lihat sebagai hal yang biasa. Untungnya adik sepupu yang rajin menyaksikan pertandingan baik setiap Sabtu sore ataupun Minggu sore, sehingga dapat meng-up-date hasil pertandingan, begitupun ketika Ende kalah di babak penyisihan, saya tetap semangat menanti dengan was-was hasil akhir siapakah yang masuk ke babak final? Ketika akhirnya Sikka berhasil mengalahkan Nagakeo (pendatang baru yang mampu menunjukkan taringnya), serta Ngada (juara bertahan) yang berhasil mengungguli Alor dibabak semi final.

Terjawab sudah kekuatiran saya, bahwa di partai final, 5 September 2009, akan saling berhadapan musuh bebuyutan (sejak jaman saya masih kuliah di Surabaya yang akan selalu bertemu di partai final adalah kesebelasan Ngada vs Sikka). Cukup mengkuatirkan apakah pertandingan akan berlangsung dengan baik, mulus, tanpa keributan? Mengingat Copa Florette sebelumnya ada isiden memalukan dalam laga final. Sayapun memberanikan untuk turut menyaksikan kemeriahan ini, dengan usaha dan bujuk rayu agar Mon pun mau menemani saya untuk menyaksikan partai final, bentuk dari keberhasilan perantau Flores, sebagai salah satu perantau Flores saya patut bangga, diselipkan sebuah tanya apakah Maluku atau propinsi/daerah lain punya hajatan seperti ini nah lho? ^_^

Semangat penuh, saya dan Mon berangkat ke GOR Pemuda, dengan angan-angan dapat duduk manis menyaksikan sebuah pertandingan bagus, sambil bisa celingak-celinguk mungkin ada yang dikenal, karena di hajatan seperti inilah kita dapat bertemu dengan sesama perantau yang mungkin jarang bisa kita jumpai. Awal yang mulus, pertandingan perebutan tempat ketiga antara Alor vs Nagakeo, laga yang tidak boleh dipandang sebelah mata, cukup menghibur, tetapi apa lacur karena kecelakaan kecil, kemudian mengakibatkan adu jontos tak bisa dihindari, dan lebih memalukan adalah para penonton pun tidak ketinggalan meramaikan adu jontos ini. Tidak tahu dari pihak mana yang memulai, saya dan Mon dan ratusan atau bahkan ribuan pasang mata yang merupakan penonton yang manis harus disuguhi pertunjukkan ekstra. Pertanyaan saya lagi berapa ratus pasang mata yang merupakan anak-anak kecil yang harus menyaksikan , bapak, kakak, om-nya berkelahi di lapangan sepak bola? Terlintas di pikiran mereka oooh lapangan sepak bola juga bisa jadi lapangan tinju ^_^. Pertandingan ini dapat juga berakhir dengan kemenangan Alor. Sebelum partai utama, Sikka vs Ngada, ada sebuah pertandingan yang dipertotonkan oleh senior-senior (pertandingan perut lawan perut ^_^...), bisa damai, dengan kualitas yang bagus ditambahi lagi pertandingan yang sangat sportif, tidak ada suguhan ekstra (harusnya seperti ini, damai, tenang, semua menikmati bagaimana bola bergerak).

Partai utama, akhirnya dimulai juga pada Pkl 20:15 WIB, diawali dengan tendangan pertama oleh Deputi Olahraga (mewakili Menteri Olahraga, Bapak Adyaksa Dault, yang tidak sempat hadir). Walau dengan perut yang agak keroncongan, hanya ditemani dengan beberapa snack dan air minum, saya dan Mon melewati jam makan malam kami di lapangan ini. 10 menit kami disuguhi pertandingan yang manis, berkualitas, dan ketika salah satu pemain Sikka tertanduk kepalanya oleh pemain Ngada, semua masih bisa berjalan dengan aman, walau akhirnya pemain Sikka harus ditandu keluar lapangan (sepertinya harus ke RS). Dan ketika gol manis dicetakkan oleh pemain berbakat dari Ngada, semua penonton bersorak-riang, saya pun bersorak dengan bangga, inilah pertandingan yang dinanti, dan tidak sia-sia, saya dan Mon datang dan turut serta menyaksikan laga final ini. Atapun pada menit ke 23, tendangan pinalty bagi Sikka, sehingga kedudukan 1 - 1, semua masih berjalan dengan aman dan damai. Laga aman dan damai, hanya mampu bertahan selama 25 menit pertama, selanjutnya bisa ditebak, hanya gara-gara kesenggol, seorang pemain Ngada, langsung beriak, dan terjadilah peperangan, adu jontos tak bisa dihindari, ketika wasit memberikan kartu merah, wasitnya malah yang hampir K.O oleh kepalan tangan para pemain. Wasit mana yang mau dan rela jiwanya terancam untuk sebuah pertandingan memalukan seperti ini, akhirnya wasit memilih lebih baik meninggalkan pertandingan. Saya, Mon dan penonton hanya bisa duduk miris, saya pun berpikir inikah klimaks, cermin budaya-kemasyarakatan Flores yang merebak, entah siapa yang tidak becus, pemain, panitia, penonton yang tidak bisa duduk manis, siapa yang mau disalahkan?

Jujur diakui, tidak mudah mengorganisir semua perantau Flores dan sekitarnya dalam hajatan besar seperti ini,apalagi di ibukota Negara, yang terkenal sebagai surga para perantauan, selalu saja ada hal yang tidak beres. Saya pun mulai sedikit berasumsi apakah ini bersinggungan dengan budaya Flores yang selalu panas lebih cepat. Lebih kacau lagi, endingnya malah seperti tawuran masal, ketika kami penonton dilempari batu. Adakah mereka berpikir bahwa penonton juga saudara-saudari mereka, atau seandainya, adik/kakak/om/tante atau bahkan orangtuanya yang kena lemparan batu tersebut? Rrrrggggghhhhh, saya pun akhirnya harus menerima omelan Mon, pertandingan apa ini? malah tawuran?bikin malu!

Tanpa menunggu lama, saya dan Mon akhirnya memilih angkat kaki dari tempat ini, dalam perjalanan pulang otak sayapun tidak bisa diam, saya berpikir keras :
  • Apa harus berakhir dengan seperti ini?
  • Konsep seperti apa yang pantas dan layak, sehingga semua pemain legowo-menahan emosi, bahwa ini hanyalah sebuah pertandingan. Ujian akan sportifitas?
  • Kekerabatan-kekeluargaan-bisa kacau balau hanya karena sebuah pertandingan yang alih-alih visi-misinya untuk memupuk kekerabatan-kekeluargaan itu sendiri?

Oh, Copa Florette, entah kapan, saya dan ribuan saudara perantau lain, akan disuguhi laga cantik, dengan nilai sportifitas tinggi, dan juga bukan oleh sebuah jargon yang asal nempel.

Semoga semesta berbahagia.

(Review ini bukan untuk menghakimi semua yang sudah terlibat baik secara langsung ataupun tidak langsung, tetapi hanyalah sebuah bahan pemikiran bersama, anyway, two thumbs buat panitia yang mampu menggelar hajatan besar ini)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar