Jumat, 03 Juli 2009

Ex Boyfriend will be my best friend


How come?
Tulisan ini yang saya entry di wall FB, on 2 Juli 2009....terinspirasi banyak true story dari sekelilingku. Paling anyar sih kisah ibu yang satu ini, Yeyet , berapa banyak dari kita yang bisa bertahan hubungan dari sepasang kekasih, mencintai-dicintai, kemudian menjadi sepasang teman, komitmen yang lebih luas, tanpa tekanan nafsu memiliki. Dan bisa bertahan ketika masing-masing kitapun sudah menemukan kekasih hidup "suami-istri"?

Merubah status menjadi "sahabat" ketika perasaan "suka" masih ada, memang sulit. Kalau nantinya akan timbul cerita baru atau mungkin paling jelek masalah baru. Atau paling tidak apresiasi orang terhadap sebuah perubahaan komitmen ini sering kali "miring". Jarang yang mungkin bisa membuktikan sebuah kemurnian persahabatan yang asal muasalnya adalah dari sepasang kekasih.

Saya pun masih sulit untuk memegang yang satu ini, sulitnya bukan karena saya bisa betah karena kecocokan, ketersambungan, hati dan jiwa. Sulitnya melepas pernik yang masih melekat, atau mungkin saya yang enggan untuk melepas? Dan akhirnya saya pun mencoba untuk mulai mengendorkan ikatan yang begitu kencang mengikat. Dan inipun yang mulai membuat saya bahagia dengan diri sendiri, tujuan saya adalah tetap manjaga persahabatan tersebut dengan baik bukan meniadakan. Kebahagiaan bukan mekanisme eksternal, tetapi internal. Diri sayalah yang bisa membuat saya bahagia. Kita tidak bisa membahagiakan orang lain, sebalum diri kita bahagia. Tidak semua orang bisa setuju akan hal ini, wadah yang berubah untuk menopang dinamika kehidupan, dari wadah "sepasang kekasih" menjadi "sepasang sahabat", dan dapat merasakan wadah apa yang paling tepat untuk membungkusnya tentu saja diri kita sendiri.

Lantas wadah persahabatan seperti apa yang coba dibangun? Tentu saja ketika saya sudah merasa bahwa sebelumnya saya merasa ada kecocokan, ketersambungan, dalam hati dan jiwa, akan lebih mudah buat saya menyesuaikan diri. Kompensasi yang harus saya terima adalah bagian-bagian yang melekat dalam wadah tersebut, tanpa mencoba melihatnya sebagai parasit. Kita sering melihat bahwa alasan kita berbuat sesuatu karena orang lain, padahal nyatanya bahwa alasan paling utama adalah karena kita melihat hal tersebut adalah yang paling benar untuk diri kita sendiri. Saya pun mencoba untuk tidak terlalu sering menekan perasaan dan mengabaikan kebutuhan diri sendiri.
:-)
Siklus damai yang coba saya bangun dengan jujur kepada perasaan dan kebutuhan diri sendiri. Tidak semua memang ex yang menjadi teman baik, bukan maksud mencari tempat sampah, tapi karena kecocokan tersebut saya merasa damai menemukan orang-orang yang bersedia menyediakan hati dan telinga walau hanya sekedar untuk mendengarkan dan tentu saja tanpa syarat. Keselarasan yang dibangun karena jembatan personal yang mengikat, dan tentu saja mampu menjadi pendengar yang baik. Mampu membuat rasa nyaman bukan karena indahnya kata-kata atau eloknya paras, melainkan oleh tindakan sederhana, bercakap ringan tanpa isi, menatap dalam bening, namun mampu terdengar oleh jiwa. Reaksi kimia yang dibangun tanpa panjangnya senyawa yang melebur, itulah yang mampu menyatukan kami. Mereka yang mampu menabur sejuk di jiwa, bahkan ketika maranggas dan kerontang, adalah tentu mereka yang dapat menjadi sahabat hati. Mereka yang selalu bisa dapat saya percayai bahkan untuk rahasia-rahasia tergelap yang tak berani saya bagi kepada dunia, termasuk tak berani saya bagi kepada kekasih jiwa saya. Mereka yang cukup ada tanpa syarat, dan selalu mampu membuat jiwaku terpaku dan memancarkan cahaya yang lebih tanpa saya sadari.

Sahabat hati yang mampu kutemukan kepada mereka yang saya atau lingkungan sosial saya telah labeli dengan nama "ex boyfriend". Jadi itulah alasan kenapa dengan suka cita saya akan bilang, bahwa ex boyfriend can be my best friend.

Semoga semesta berbahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar